Tatkala menuntut ilmu1 merupakan jihad, bahkan lebih utama dari jihad
fi sabilillah (berlaga di medan jihad), kita akan mengawali
permasalahan dengan hadits Abdullah bin ‘Amr c, ketika datang seorang
lelaki menemui Rasulullah n meminta izin untuk berjihad fi sabilillah.
Rasulullah n bertanya kepadanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Dia menjawab: “Ya.” Rasulullah n pun mengatakan:
“Pada kedua orang tuamulah engkau berjihad (bersungguh-sungguh berbakti).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah yang dishahihkan oleh
Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (no. 2528) disebutkan: “Ada seorang
lelaki datang kepada Rasulullah n ingin ikut berjihad, sementara kedua
orang tuanya menangis. Maka Rasulullah n mengatakan:
“Kembalilah engkau kepada keduanya, dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.”
Berdasarkan hadits ini, jumhur ulama mengatakan bahwa seorang anak haram
untuk berangkat jihad jika kedua orang tuanya atau salah satu dari
keduanya melarangnya, dengan syarat kedua orang tuanya muslim. Karena
birrul walidain (berbakti kepada keduanya) adalah fardhu ‘ain (kewajiban
bagi setiap muslim yang tidak bisa diwakili orang lain), sedangkan
jihad adalah fardhu kifayah (kewajiban bagi sebagian kaum muslimin, jika
ada sebagian yang telah menunaikannya maka gugur kewajiban yang lain).
Adapun jika jihad tersebut hukumnya fardhu ‘ain maka jihad didahulukan,
karena mashlahatnya –yaitu untuk membela Islam dan kaum muslimin– lebih
besar dibandingkan birrul walidain yang maslahatnya hanya untuk kedua
orang tua. (Lihat Syarhu Muslim karya An-Nawawi (16/89), Fathul Bari
(6/140-141), Nailul Authar (7/221) dan Subulus Salam (4/66))
Al-Hafizh berkata dalam Fathul Bari (6/141): “Hadits ini merupakan dalil
haramnya melakukan safar tanpa izin orang tua, karena jihad saja
demikian. Apalagi kalau hanya safar biasa. Lain halnya dengan safar
dalam rangka menuntut ilmu
yang fardhu ‘ain2, maka hal ini boleh meskipun tanpa izin. Adapun safar
untuk menuntut ilmu yang sifatnya fardhu kifayah3 maka ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama.”
Kita memandang bahwa pendapat terbaik dalam hal ini adalah fatwa guru
besar kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i t dan fatwa Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumallah.
Syaikhuna Al-Wadi’i t berkata: “Waspadalah, waspadalah! Jangan sampai kedua orang tuamu menghalangi engkau dari menuntut ilmu yang bermanfaat.
Karena kebanyakan orang tua, kalbu mereka dipenuhi cinta dunia.
Tinjauan mereka sangat sempit, karena terbatas hanya pada masa depan
anak di dunia ini.
Dalam Masa`il Ibnu Hani (jilid hal.164), dia berkata: “Aku mendengar Abu
Abdillah –yaitu Al-ImamAhmad t– ditanya tentang seseorang yang pamit
kepada orang tuanya untuk safar menuntut hadits dan (ilmu) yang
bermanfaat baginya. Beliau t menjawab: “Jika berangkat untuk menuntut
ilmu yang bermanfaat, saya memandang tidak mengapa seseorang melakukan
hal itu meskipun tanpa izin orang tua.”
Saya bukannya mengajak anda untuk durhaka kepada orang tua dan
memutuskan hubungan dengan keduanya, melainkan agar anda mengutamakan
perkara yang lebih bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Akan tetapi
kalau keduanya membutuhkan anda untuk mencarikan nafkah, atau untuk
mengurusi mereka, maka tidak boleh menelantarkan mereka, berdasarkan
hadits:
“Pada keduanyalah engkau berjihad.” (An-Nushul Amin li Thalabatil
‘Ilmi wa Sa`iris Salafiyyin min Kalamil Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i,
hal. 60-61)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin t ketika ditanya tentang seseorang yang
dihalangi oleh kedua orang tuanya untuk berangkat menuntut ilmu, beliau
menjawab: “Jika ada tuntutan yang sifatnya darurat (terpaksa) untuk
mendampingi keduanya, maka tinggal bersamanya afdhal (lebih utama), dan
dia bisa menuntut ilmu bersamaan dengan mendampingi keduanya. Karena
birrul walidain lebih diutamakan dibanding jihad fi sabilillah (yang
hukumnya fardhu kifayah, pen). Sedangkan menuntut ilmu merupakan jihad,
berarti birrul walidain didahulukan jika orang tua membutuhkan
keberadaan anaknya. Adapun jika keduanya tidak membutuhkan
keberadaannya, dan dia akan lebih leluasa serta lebih maksimal dalam
menuntut ilmu jika berangkat, tidak mengapa dia berangkat (meskipun
tanpa seizin keduanya). Namun jangan sampai lupa hak orang tuanya,
dengan pulang menjenguk keduanya dan terus berusaha meyakinkan mereka
akan pentingnya menuntut ilmu, sampai mereka mengerti hal itu. Lain
halnya jika seorang anak mengetahui bahwa orang tuanya membenci ilmu
syar’i (ilmu agama). Orang tua yang seperti itu tidak memiliki hak untuk
ditaati. Dan tidak semestinya seorang anak minta izin kepada mereka
jika hendak berangkat menuntut ilmu, karena yang mendorong keduanya
untuk menghalangi anaknya adalah kebencian dia terhadap ilmu syar’i.”
(Kitabul ‘Ilmi, hal. 155)
Semoga Allah I memberi taufik kepada para orang tua untuk mendukung dan
membantu anak-anak mereka dalam menuntut ilmu, serta menyadari bahwa
dengan itu mereka telah berpartisipasi untuk kejayaan agama ini dan
kemaslahatan kaum muslimin. Dan itu lebih baik bagi mereka dibandingkan
dunia dan seisinya.
Allahul muwaffiq ila sawa`is sabil. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Catatan Kaki:
1 Ilmu yang dibicarakan di sini adalah ilmu syar’i (ilmu agama), bukan ilmu dunia.
2 Yaitu ilmu akidah dan tauhid, mempelajari hal-hal yang harus diimani,
cara mentauhidkan Allah I dalam beribadah, serta hal apa saja yang
merupakan pembatal-pembatal keislaman seseorang, seperti syirik dan
lainnya. Demikian pula mempelajari ilmu tentang nama-nama dan
sifat-sifat Allah I untuk mengenal Allah
I. Juga mempelajari hukum-hukum syariat yang diwajibkan bagi setiap
orang, semisal shalat, dan yagn terkait dengannya seperti wudhu dan
lainnya.
3 Yaitu ilmu yang tidak harus dipelajari oleh setiap orang, seperti ilmu nahwu-sharaf, ilmu ushul fiqih, dan lainnya.
Selasa, 02 Oktober 2012
Home »
Agama Islam
» Antara Berbakti Pada Orang Tua Atau Menuntut iLmu
0 komentar:
Posting Komentar