Recent Post

Minggu, 14 Juli 2013

Rukun Puasa



Puasa memiliki dua rukun, yaitu:

Rukun Pertama: Menahan, al-Imsak

Yang dimaksud menahan, imsâk di sini adalah menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan suami-isteri (setubuh, jimâ') sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Firman Allah: "Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" (QS. 2. al-Baqarah: 187)

Maksudnya, setelah matahari terbenam (Maghrib) Allah membolehkan hamba-Nya untuk makan, minum dan bersatu kembali dengan istri-istrinya sampai datang fajar menyingkap kegelapan malam. Allah menyamakan malam dengan benang hitam dan siang dengan benang putih, sehingga jelaslah bahwa benang yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan kain, melainkan fajar.

Dalam kitab Sahihnya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah Hadis dari Sahl Ibn Sa'd: "Telah diturunkan ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; dan ketika itu kata min al-fajr, fajar belum diturunkan. Maka orang-orang yang hendak berpuasa mengikatkan benang putih dan hitam pada kedua kakinya. Mereka masih asyik makan sampai benar-benar bisa melihat warna kedua benang tersebut. Kemudian turunlah firman Allah min al-fajr, fajar. Barulah mereka mengerti bahwa yang dimaksud benang hitam dan putih adalah malam dan siang.

Juga dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari 'Addâ Ibn Hatim, ia berkata: "Ketika turun ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; aku mengira, yang dimaksud adalah dua helai benang, satu berwarna putih dan satunya lagi berwarna hitam. Kemudian kuletakkan benang-benang itu di bawah bantal. Benang-benang itu kujadikan patokan. Jika telah tampak benang putih, maka aku pun mulai menahan diri, puasa. Ketika pagi menjelang, aku pun bergegas menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang telah kuperbuat. Beliau bersabda: 'Wah, jika begitu bantalmu bertambah tebal, dong! Adapun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah terangnya siang dan gelapnya malam'." Maksud ungkapan, "jika begitu bantalmu bertambah tebal" adalah bertambah tebal karena ditambah dua benang, hitam dan putih yang diletakkan di bawah bantal, yang oleh ayat sendiri dimaksudkan terangnya siang dan gelapnya malam.

Ketika para ulama memberi definisi puasa dengan menahan, al-imsâk, maka yang dimaksud menahan di sini adalah menahan dari semua perkara yang membatalkan puasa. Termasuk di dalamnya adalah makan, minum, dan juga hubungan badan, jimâ. Selain itu, ada juga hal-hal lain yang belum disebutkan, di antaranya sesuatu yang dimasukkan melalui rongga tubuh meskipun rongga itu bukan merupakan rongga yang biasa digunakan untuk makan atau minum, seperti infus. Maka puasa menjadi batal dengan masuknya hal-hal semacam itu ke dalam lambung dengan disengaja, baik cara memasukkannya melalui mulut, hidung, telinga, anal, maupun infus.

Adapun celak dan obat tetes yang digunakan pada mata, jika ditemukan rasanya di tenggorokan maka puasanya rusak, namun jika rasa tersebut tak ditemukan maka puasanya tetap sah (sebagian ulama berpendapat, obat tetes mata dan celak tidak membatalkan puasa meskipun ditemui rasanya di tenggorokan, karena hal itu bukan merupakan hal yang lazim sebagai pengisi perut dan tidak mengeyangkan, penyunting).

Imam Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat, pemakaian celak tidak membatalkan puasa. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi saw bercelak di bulan Ramadan sedangkan beliau berpuasa. Juga karena mata bukanlah termasuk lobang yang menerus ke perut, sehingga apa yang masuk melaluinya tidak merusakkan puasa, sama seperti orang yang meminyaki rambut di kepalanya.

Adapun sesuatu yang tidak mungkin dihindari masuknya seperti air liur yang tertelan, debu jalanan, atau tepung yang diayak, semuanya tidak membatalkan puasa, dan termasuk ke dalam kategori yang di maafkan, ma'fu 'anh. Seperti juga debu atau lalat yang terbang kemudian masuk secara tidak sengaja ke mulut atau tenggorokan, mani yang keluar tanpa disengaja-sebab mimpi atau karena berpikir seputar seks, atau orang yang tiba-tiba muntah, maka hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa.

Apabila terasa ada makanan yang tersisa di tenggorokan dan sulit untuk mengeluarkannya maka hukumnya disamakan dengan air liur di atas, tidak membatalkan puasa.

Rukun Kedua: Niat

Pengikut mazhab Syafi'i menganggap niat sebagai salah satu rukun puasa, sedangkan pengikut mazhab-mazhab lainnya menganggap niat sebagai salah satu syaratnya.

Niat secara bahasa diartikan: maksud, bermaksud (al-qashd), sedangkan secara terminologi agama diartikan dengan: "Bermaksud mengerjakan sesuatu yang dibarengi pelaksanaannya. Apabila pelaksanaanya tertunda, tidak berbarengan dengan maksudnya, maka disebut 'azm, azam, keinginan.

Dalil tentang wajibnya niat ini adalah firman Allah: "Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" (QS 98. al-Bayyinah : 5), juga sabda Rasul: "Sesungguhnya amal perbuatan disertai dengan niat-niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah mereka niatkan" (HR. Bukhârî).

Diriwayatkan dari Hafshah, Ummul Mukminin ra. bahwa Nabi saw bersabda: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari, sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Hadis ini menunjukkan ketidak-absahan puasa tanpa disertai niat pada malam hari. Waktu niat adalah sepanjang malam. Ia bisa dilaksanakan kapan saja sejak terbenamnya matahari dan sebelum terbitnya fajar, setiap malam bulan Puasa. Dengan niat inilah dibedakan antara ibadah dengan adat, kebiasaan. Dan dengan niat ini pula dibedakan antara ibadah fardhu dengan ibadah sunah.

Niat tidak harus diucapkan dengan lisan, karena ia merupakan pekerjaan hati. Barangsiapa sahur di malam hari dengan maksud melaksanakan puasa, maka itu sudah termasuk niat. Niat cukup pula dihadirkan dalam hati di waktu malam bahwa ia akan berpuasa hari esok.

Menurut Mazhab Mâlikî, niat tidak perlu diucapkan tiap malam, tapi cukup dilakukan sekali saja jika puasa yang dilakukan adalah puasa yang berkelanjutan dan berturut-turut, seperti puasa pada bulan Ramadan, puasa kafarat-kafarat Ramadan, kafarat membunuh, dan kafarat dzihar-, dan lainnya, selama kelanjutan tersebut tidak terputus. Jika kelanjutan puasa terputus-dikarenakan uzur, semisal bepergian, sakit, atau lainnya-, maka niat wajib dihadirkan setiap malam.

Adapun puasa yang tidak harus dilakukan berturut-turut, seperti puasa kafarat sumpah, dan puasa untuk mengqadha, mengganti puasa yang ditinggalkan, maka diharuskan berniat setiap malamnya.

Sementara untuk puasa sunah, menurut Mazhab Syafi'i, niat bisa dilakukan-di samping pada malam hari-pada waktu pagi hari, sebelum waktu Dzuhur dan dengan catatan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sebelumnya.

Menurut Madzhab Hanafî, niat puasa sunah adalah sejak malam hari hingga pertengahan siang, namun akan lebih baik bila niat dilakukan pada malam hari dan dengan mengucapkannya.

Sedangkan Mazhab Mâlikî berpendapat, niat tidak sah dihadirkan pada waktu siang hari, apa pun jenis puasanya, termasuk puasa sunah.

Madzhab Hanbalî berpendapat, niat puasa sunah bisa dilakukan pada siang hari, meskipun dilakukan setelah matahari tergelincir-sesudah waktu Dzuhur. Asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum dan seterusnya.

Dalil sahnya puasa sunah dengan niat di siang hari ini adalah Hadis yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra. yang mengatakan: "Suatu hari Nabi saw. datang kepadaku dan bertanya, 'Apakah engkau punya makanan?' Saya menjawab, 'Tidak ada'. Beliau saw. pun lantas berkata, 'Kalau begitu aku puasa'. Di hari yang lain beliau datang lagi kepadaku. Aku katakan kepadanya, kita dihadiahi hays. Beliau menjawab, 'Perlihatkanlah kepadaku. Aku sebenarnya puasa sejak pagi'. Kemudian beliau pun memakan hays tersebut" (HR. Muslim).

Hays adalah kurma kering berserta mentega dan keju.

Sebagian ulama berpendapat, ungkapan Nabi saw di atas bersifat umum. Ada kemungkinan Nabi saw berniat puasa sejak malam, bisa juga tidak. Namun berdasarkan hadis sebelumnya, riwayat dari Hafshah di atas, niat puasa pada dasarnya dilakukan pada malam hari. Puasa ini pun berlaku umum, bisa berupa puasa fardhu, sunah, qadha maupun nazar.

Dalam masalah ini, kita boleh mengikuti salah satu pendapat mazhab-mazhab di atas, namun yang lebih afdal melakukan niat pada malam hari untuk menghindari perbedaan pendapat yang ada. Wa 'l-Lah-u a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar